Krisis Air disebabkan Oleh Wisatawan

 

Sumber foto: kintamani.com


Air merupakan sumber penting bagi seluruh kehidupan di “organ di dunia”. Akhir abad ke-21 muncul dua isu penting di dunia tentang perkembangan sumber daya air. Pertama pada tahun 1972 The Club Of Rome, dalam The Limits O Growth Report memunculkan isu bahwa eksploitasi yang terkait dengan lingkungan dapat mengehentikan pertumbuhan ekonomi. Kedua, pada tahun 1974 The United Nations Word Food Conference (WFC) tentang adanya krisis pangan. Sehingga dilakukan upaya menjamin kecukupan pangan yang serasi dengan pembaharuan kembali sumber daya alam termasuklah sumber daya air. Berbagai konvesi dunia untuk mengatasi permasalahan krisis air telah dibangun, melalui penyusunan pedoman pemanfaatan air secara arif untuk berbagai kepentingan yang sifatnya kompetitif seperti Konvensi Dublin 1992, Rio de Janeiro 1992, World Water Forum di Den Haag tahun 2000, dan Fresh Water Conference di Bonn tahun 2001 serta World Water Forum di Kyoto tahun 2003 (Suprojo Susposutadjo, 2006: xxi).

Masalah air kemudian juga menjadi serius dengan munculnya pariwisata yang pada saat ini telah menjadi salah satu sektor penting bagi pelaksanaan pembangunan di tingkat lokal, regional dan Internasional yang dapat memberikan peningkatan bagi pendapatan devisa negara, memperluas lapangan kerja, dan memperkenalkan alam dan kebudayaan Indonesia kepada masyarakat dunia (Widiartha, 2010) Manajemen pengelolaan air juga menimbulkan sejumlah konflik di beberapa negara tak terkecuali Bali yang sedang dalam peningkatan populasi dan tekanan pariwisata.   

Pembangunan akomodasi hotel berbintang diikuti oleh besarnya konsumsi air bersih sebagai salah satu sarana penunjang pariwisata. Konsumsi air bersih oleh hotel berbintang dalam jumlah besar menimbulkan suatu kompetisi antara hotel berbintang dengan masyarakat lokal. Masyarakat diperkirakan mengonsumsi air sebesar 183 liter/hari, sementara hotel berbintang diperkirakan mengonsumsi air mencapai 1500-4500 liter/kamar/hari. Besarnya konsumsi air tersebut tergantung pada status bintang dan fasilitas yang ada. Semakin tinggi status bintang umumnya memiliki konsumsi air yang semakin tinggi pula.

Dalam memenuhi kebutuhan air bersih, hotel berbintang menggunakan tiga jenis sumber air, yaitu air dari PDAM, air tanah dan air olahan limbah. Hotel berbintang menjadi konsumen air terbesar kedua. Golongan industri besar, termasuk hotel berbintang, tercatat mengonsumsi air dari PDAM Tirta Mangutama Kabupaten Badung sebesar 2.201.755 m3 pada tahun 2015 dan konsumsi air tanah mencapai 12.366.200 m3 /tahun. Sementara, masyarakat mengonsumsi 8.385.357 m3 air PDAM dan konsumsi air tanah mencapai 7.661.000 m3 /tahun. Eksploitasi air tanah di kawasan Badung Selatan menyebabkan adanya kelebihan pemakaian air tanah yang mencapai 3.067.200 m3 /tahun. Angka tersebut melebihi batas maksimal pemakaian yang hanya sebesar 25.800.000 m3 /tahun. Penggunaan air tanah terbesar berada di kawasan Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan. Hal ini disebabkan pertumbuhan akomodasi di kawasan Badung Selatan yang membuat pemakaian air tanah lebih banyak daripada wilayah lain. Secara umum, Kabupaten Badung mengalami kekurangan air bersih 394 liter/detik dan tidak pernah mengalami surplus air bersih. Sementara, di kawasan Badung Selatan tingkat kekurangan air bersih mencapai 163 liter/detik. Kondisi tersebut disebabkan oleh pesatnya pembangunan akomodasi pariwisata, kondisi topografis yang tersusun dari batuan yang bersifat porous dan tidak dilindungi lapisan impermiabel serta distribusi ke kawasan tersebut yang belum optimal.

Di kawasan Pecatu, Kuta Selatan, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat membeli air tangki dari pihak di luar PDAM seharga Rp 250.000,00-Rp 300.000,00 untuk 1 tangki air berukuran 5.000 liter. Harga air ini akan lebih mahal apabila jarak rumah warga jauh sehingga membutuhkan waktu tempuh lebih lama. Di Kawasan Pecatu terdapat lebih dari 100 KK yang membeli air tangka. Kawasan lain yang juga mengalami hal serupa adalah Kerobokan, yang termasuk kawasan pusat pariwisata di Bali. Kerobokan berada di antara Kuta dan Canggu yang mana kedua daerah tersebut merupakan pusat pembangunan di Badung. Akses air yang sulit sudah dialami sejak lima tahun lalu yang mana pada awalnya sering terjadinya pemadaman air dari PDAM Badung. Semakin masifnya pembangunan akomodasi pariwisata dengan menggunakan sumur bor di kawasan tersebut membuat sumur warga semakin sulit mendapatkan akses air bawah tanah, bahkan sudah tidak muncul air sejak akhir 1990-an (Muhajir, A 2015). Gambaran kondisi tersebut berbeda dengan kondisi yang dialami oleh akomodasi pariwisata di kawasan Badung Selatan yang mana akomodasi pariwisata, termasuk hotel berbintang, tidak pernah mengalami gangguan distribusi air. Hal ini dikarenakan hotel berbintang memiliki sumur bor sebagai cadangan air bawah tanah. 

Tidak hanya mengalami krisis secara kuantitas, Badung Selatan juga mengalami krisis dari segi kualitas air. Berdasarkan hasil penelitian di Kuta Selatan menunjukkan bahwa kawasan tersebut mengalami kelebihan BOD5 dan COD yang melampaui Standar Baku Mutu. Pada musim kemarau, kandungan BOD5 mencapai 6.36 ppm dari batas Standar Baku Mutu sebesar 2 ppm. Sementara, kandungan COD mencapai 22,92 ppm dari batas standar sebesar 10 ppm. Pada musim hujan, kandungan BOD5 mencapai 6,45 ppm dan kandungan COD mencapai 23,58 ppm. Dampak kelebihan BOD dan COD yang melampaui Standar Baku Mutu akan berpengaruh pada menurunnya kandungan oksigen terlarut yang akan berpengaruh pada menurunnya kualitas air tanah (Sundra, IK 2015).

Fenomena gejala krisis air bersih ini dapat menjadi ancaman terhadap kemanusiaan, khususnya keamanan lingkungan. Aspek-aspek yang masuk ke dalam ruang lingkup keamanan lingkungan meliputi degradasi lingkungan, berkurangnya sumber daya alam, bencana alam, dan polusi. Keamanan lingkungan yang dimaksud adalah terganggunya akses air bersih sebagai kebutuhan dasar manusia oleh masyarakat dan terjadinya penurunan kualitas air bersih akibat dampak pembangunan akomodasi pariwisata di kawasan Badung Selatan, Bali. PBB mengakui hak asasi manusia terhadap air dan sanitasi serta peran penting air dan sanitasi untuk mencapai realisasi hak asasi manusia melalui Resolusi PBB Nomor 64/292 Tahun 2010. Melalui UN Water, PBB mempromosikan pentingnya upaya bersama untuk mencapai water security sebagai keamanan yang bersifat multidimensi dan multisektoral. Air dinilai sebagai penghubung utama antarberbagai aspek keamanan. Keamanan air menjadi tantangan yang kompleks dan saling berhubungan dari level lokal hingga level internasional untuk mencapai sense of security, ketahanan, pembangunan, dan human wellbeing (UN Water 2013). Atas dasar tersebut, diperlukan suatu kolaborasi aktor-aktor yang bersifat interdisipliner dari berbagai sektor, komunitas dan lembaga politik sehingga kemungkinan terjadinya kompetisi dan konflik antarkonsumen air serta dampak jangka panjang dapat dihindarkan (Wouters, dkk, 2009 dalam UN Water 2013).

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa upaya, seperti pengolahan air limbah domestik melalui Pilot Test Unit di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Suwung, merealisasikan Denpasar Sewerage Development Project, optimalisasi IPAL PT. BTDC untuk mengelola dan mengolah limbah domestik yang berasal dari akomodasi pariwisata di bawah naungan PT. BTDC serta melakukan optimalisasi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Petanu. Sementara, hotel berbintang melakukan upaya pengolahan limbah domestik untuk kebutuhan internal. Namun, hingga saat ini belum ada upaya bersama antara kedua pemangku kepentingan tersebut untuk mengatasi masalah gejala krisis air bersih di Badung Selatan, Bali. 


Referensi :

Pusposutardjo, Suprodjo, 2006, “Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Tri Hita Karana”, dalam pengantar Wayan Windia, Pustaka Bali Post.

 Sundra, IK 2015, ’Kualitas Air Bawah Tanah di Wilayah Kuta Selatan Kabupaten Badung’, diakses pada 6 Maret 2017.

United Nations Water, 2013, ‘Water Security & the Global Water Agenda: A UN-Water Analytical Brief’, diakses pada 16 Februari 2017 .

Widiartha, 2010, Dampak Pelaksanaan Kebijakan Penataan Sarana Akomodasi Pariwisata Terhadap Perkembangan Villa di Kabupaten Badung”,  (Tesis). Denpasar. Universitas Udayana.



Penulis: Seno Wicaksono

Editor: Tim Humas


Post a Comment

Previous Post Next Post