Mengapa Jakarta Tenggelam?

Sumber foto: kumparan.com

Jakarta adalah adalah ibu kota negara dan kota terbesar di Indonesia. Hasil Sensus Penduduk 2020 mencatat jumlah penduduk kota Jakarta pada September 2020 sebanyak 10,56 juta jiwa. Angka tersebut meningkat 945 ribu jiwa dibandingkan pada 2010 yang mencapai 9,61 juta jiwa atau rata-rata tumbuh 88 ribu jiwa per tahun. Hal ini tentunya akan berdampak pada daya dukung lahan sebagai tempat tinggal termasuk didalamnya kebutuhan akan konsumsi air dalam bentuk pengambilan air tanah untuk kebutuhan rumah tangga ataupun industri.

Dalam perkembangan ibu kota Jakarta yang semakin pesat, muncul masalah baru beberapa tahun belakangan ini, yaitu terjadinya penurunan tanah di sekeliling daerah pusat kota lama. Penurunan yang terjadi sudah cukup signifikan dan dapat berakibat fatal jika terdapat konstruksi di atasnya, seperti jalan, rumah penduduk dan lain-lain. Cukup banyak titik-titik penurunan tanah yang terjadi di daerah ini, hal ini sudah menjadi issue utama bagi masyarakatnya.

Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan suatu proses gerakan penurunan muka tanah yang didasarkan atas suatu informasi data tertentu (kerangka referensi geodesi) dimana terdapat berbagai macam variabel penyebabnya (Marfai, 2006). Penyebab penurunan tanah salah satunya adalah eksploitasi air tanah secara besar – besaran yang melebihi kemampuan pengambilannya akan mengakibatkan berkurangnya jumlah air tanah pada suatu lapisan akuifer. Akuifer adalah lapisan yang terdapat di bawah tanah yang mengandung batu-batuan yang mampu menampung air. Melalui akuifer inilah air tanah dapat diambil. Hilangnya air tanah ini menyebabkan terjadinya kekosongan pori – pori tanah sehingga tekanan hidrostatis di bawah permukaan tanah berkurang sebesar hilangnya airtanah tersebut. Selanjutnya akan terjadi pemampatan lapisan akuifer.

Secara geoteknis penurunan muka tanah diakibatkan oleh adanya cekungan air tanah yang diekstraksi sehingga terjadi peningkatkan tegangan antar butir tanah di dalam akuifer yang tidak terkonsolidasi (Bouwer, 1977). Pengambilan air tanah (ground water extraction) bagi kebutuhan rumah dan juga industri untuk wilayah perkotaan seperti diJakarta saat ini semakin meningkat dengan menggunakan sumur bor. Pengambilan air tanah secara berlebihan juga beresiko pada pencemaran air tanah dalam yang bersumber dari air tanah dangkal yang tercemar, maka kualitas air tanah yang semula baik akan menurun dan bisa jadi tidak dapat dimanfaatkan atau di konsumsi.

Jakarta harus mampu mengurangi ketergantungannya pada air tanah dan mencari sumber alternatif dalam pengelolaan air. Salah satunya dengan memanfaatkan air sugai yang dikelola kembali. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengatasinya adalah mempertegas undang-undang untuk keseriusan upaya mengelola air tanah secara berkelanjutan, dan mengubah pandangan masyarakat bahwa air tanah adalah sumber daya yang tidak bisa diperbaharui.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, H. Z., et al. 2011. Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its relation with urban development. Natural Hazards. Vol 59(3): 1753.

Bouwer, H. 1977. Land Subsidence and Cracking Due to Ground‐Water Depletion. Ground Water. Vol 15(5): 358-364.

Budi, A., et al. 2016. Pemantauan Penurunan Muka Tanah Kota Semarang Tahun 2016 Menggunakan Perangkat Lunak GAMIT 10.6. Teknik Geodesi Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro: Semarang.

Marfai. 2006. Impact of the escalated tidal inundation due to land subsidence in a coastal environment. Nat Hazards. Vol 44:93–109.

Jumlah Penduduk Hasil SP2020 Provinsi DKI Jakarta sebesar 10.56 juta jiwa. https://jakarta.bps.go.id/. Diakses 06 Juni 2021


Penulis: Ainaya Nur Fadila

Editor: Tim Humas

Post a Comment

Previous Post Next Post