BLOOMING ALGAE






Fitoplankton adalah organisme satu sel mikroskopik yang hidup di perairan tawar maupun laut. Kebanyakan fitoplankton tidak berbahaya selama pertumbuhannya normal dan tidak mengganggu ekosistem di sekitamya karena pada dasamya fitoplankton adalah produsen energi (produsen primer) pada suatu rantai makanan dalam ekosistem. Tetapi bila pada perairan tertentu terjadi pertumbuhan alga yang sangat berlimpah yang dikenal dengan nama ledakan alga atau Blooming Algae dan dikenal juga dengan istilah HABs (Harmful Alga Blooms) karena berlimpahnya nutrien pada badan air, maka akan berdampak besar terhadap lingkungan perairan tersebut. (dkp.go.id, 2008). Hasil-hasil penelitian menyebutkan bahwa peledakan alga selain disebabkan karena buangan domestik yang dibawa aliran air sungai yang masuk ke perairan laut yang mengakibatkan tingginya konsentrasi nutrien di suatu badan air (seperti Nitrogen, Fosfor dan Silikat), maka unsur hara yang cukup banyak bisa terkumpul di suatu kawasan laut yang relatif tenang semisal teluk, akibat pergerakan arus yang memusat dan menuju ke tempat tertentu. Hal ini dapat diakibatkan oleh faktor alam (upwelling) dan pengaruh elnino atau lanina atau kurangnya zooplankton (copepoda) herbivora yang mengontrol populasi fitoplankton. Namun, secara umum, pemicu kejadian ledakan alga adalah kombinasi atau gabungan dari perubahan beberapa parameter di suatu badan air (Balipost.com, 2007).  Walaupun bukan merupakan faktor utama dalam terjadinya ledakan alga, tetapi pengaruh upwelling cukup signifikan bila terjadi bersama sarna dengan pemicu lainnya.
Menurut Effendi (2003), nitrat merupakan senyawa nitrogen yang paling dominan di perairan alami dan sangat penting bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Selain nitrat kandungan zat hara lainnya yaitu fosfat, jika melimpah di lingkungan perairan memiliki dampak positif, yaitu peningkatan produksi fitoplankton dan total produksi ikan. Namun pada konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan dampak negatif, yaitu terjadinya ledakan fitoplankton jenis toksik (beracun) atau disebut dengan Harmful Algal Bloom (HAB) yang berakibat pada penurunan kandungan oksigen di perairan sehingga menyebabkan kematian masal biota air (Risamasu dan Prayitno, 2011). Peningkatan kelimpahan fitoplankton ini sangat dipengaruhi oleh proses eutrofikasi. Kondisi perairan dengan zat hara tinggi juga disebabkan oleh faktor oseanografi seperti up welling (Anderson et al., 2008).Jenis fitoplankton yang berpotensi blooming adalah diantaranya kelompok Dinoflagellata, yaitu Alexandrium spp., Gymnodinium spp. dan Dinophysis Spp. kelompok Diatom adalah Pseudonitszchia spp.(Aunorohim, 2009).
Blooming dari spesies fitoplankton diindikasikan dengan pertumbuhan yang pesat dan berlangsung dalam kurun waktu 1-2 minggu. Belum ada kesepakatan mengenai batasan kepadatan sel fitoplankton yang dianggap blooming yang bersifat membahayakan atau meracuni. Beberapa jenis fitoplankton dalam kepadatan rendah sudah membahayakan tanpa mengakibatkan perubahan warna perairan. Kelimpahan beberapa spesies yang besifat toksik yang dikategorikan berbahaya yaitu Alexandrium sp. yang memiliki racun PSP yang sudah terdeteksi pada kelimpahan pada 103 sel/liter pada kerang-kerangan, Gyrodinium sp. yang dapat membunuh ikan dan organism perairan lainnya pada konsentrasi kelimpahan lebih dari 107 sel/liter . Kelimpahan fitoplankton yang telah mencapai 109 sel/liter sudah dikatakan menunjukkan fenomena red tide, bahkan bila kepadatan mencapai lebih dari 109 sel/liter sudah termasuk fenomena red tide extreme (Asriyana dan Yuliana, 2012).  Fenomena blooming dari fitoplankton toksik sangat berbahaya, ada sekitar 4000 spesies fitoplankton bersifat toksik dan baru sekitar 200 spesies yang telah teridentifikasi atau sekitar 6% dari jumlah seluruhnya yang ada. Di Indonesia sedikitnya terdapat sekitar 30 jenis fitoplankton yang berpotensi menimbulkan HAB (GEOHAB, 2011).Peningkatan fenomena HAB dapat diakibatkan oleh perubahan iklim di laut, meningkatnya kesuburan perairan akibat aktifitas baik industri atau rumah tangga di wilayah pesisir, perubahan pola penyebaran nutrien di perairan akibat masuknya air dari daratan ke badan perairan dalam jumlah yang cukup besar serta fenomena upwelling (Rabalais, Turner, Diaz & Justic, 2009). 
Menurut Mulyani, Widiarti dan Wardhana (2012) peristiwa HAB dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu red tide maker dan toxin producer. Peristiwa HAB yang masuk dalam kategori red tide maker disebabkan oleh ledakan populasi fitoplankton berpigmen sehingga warna air laut akan berubah sesuai dengan warna pigmen spesies fitoplanktonnya. Ledakan populasi fitoplankton tersebut dapat menutupi permukaan perairan sehingga selain menyebabkan deplesi oksigen, juga dapat menyebabkan gangguan fungsi mekanik maupun kimiawi pada insang ikan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kematian massal ikan. Sedangkan peristiwa HAB yang dikategorikan toxin producer disebabkan oleh metabolit sekunder yang bersifat toksik dari suatu fitoplankton sehingga toksin tersebut dapat terakumulasi pada biota perairan seperti ikan dan kerang. 
Peristiwa HAB oleh red tide maker disebabkan oleh ledakan populasi fitoplankton berpigmen, sehingga warna air laut akan berubah sesuai dengan warna pigmen pada spesies fitoplankton tertentu (Praseno, 2000). Retaid (red-ticle)adalah fenomena alam yang sering terjadi di ekosistem perairan baik laut maupun tawar. Retaid mengesankan perubahan warna air laut dari [biru atau biru-hijau menjadi merah, merah-coklat, hijau kekuningan atau bahkan putih (Praseno & Sugestiningsih, 2000) atau menjadi putih susu (Abidin, 1990, komunikasi pribadi). Warna air laut dapat berubah dari biru menjadi merah, merah kecoklatan, hijau, ungu, dan kuning. Ledakan populasi fitoplankton tersebut dapat menutupi permukaan perairan, sehingga selain menyebabkan deplesi oksigen, juga dapat menyebabkan gangguan fungsi mekanik maupun kimiawi pada insang ikan. Hal tersebut dapat mengakibatkan kematian massal pada ikan (Adnan, 1994; Hallegraeff, 1991).
Global ecology and oceanography of harmful algal blooms (GEOHAB, 2001) menyatakan bahwa toksin yang ditimbulkan akibat alga penghasil toksin dapat diklasifikasikan menjadi diarrhetic shellfish poisoning (DSP), paralytic shellfish poisoning (PSP), neurotoxic shellfish poisoning (NSP), amnesic shellfish poisoning (ASP), dan ciguatera fish poisoning (CFP). ASP disebabkan oleh racun asam domoic yang umumnya dihasilkan oleh Pseudo-nitzschia dari kelompok diatom (Praseno, 2000). NSP terjadi akibat paparan bravetoxin yang terakumulasi dalam tubuh organisme perairan yang umumnya dihasilkan oleh GymnodiniumChatonella vernuculosa dan Scrippsiela trochoidea (GEOHAB, 2001). PSP terjadi akibat paparan saxitoxin pada organisme perairan yang dihasilkan oleh genus DinoflagellataAlexandrium, Gymnodinium dan Pyrodinium (Widiarti & Pratiwi 2003). CFP berasal dari akumulasi toxin pada ikan, terutama yang dihasilkan oleh Dinoflagellata genus Gambierdiscus toxicus (Praseno, 1995). DSP disebabkan oleh asam okadoic atau dinophysistoxin yang umumnya disebabkan oleh kelompok alga genus Dinophysis (Mackenzie et al., 2005).
Potensi dampak yang ditimbulkan dari spesies HAB menurut (GEOHAB, 2001) disajikan pada Tabel 1.

Sampai saat ini, belum ditemukan cara efektif yang dapat menangani permasalahan blooming alga. Namun kita selaku masyarakat yang peduli terhadap lingkungan juga dapat melakukan hal-hal kecil yang dapat mencegah terjadinya blooming algae.
Salah satunya adalah dengan menggunakan berbagai jenis detergen atau sabun yang bebas mengandung fosfat. Dengan begitu jumlah fosfat di perairan akan semakin berkurang sehingga peristiwa blooming alga dapat dihindari.
Cara lainnya dalam menaggulangi permasalahan blooming fitoplankton ini dengan mengolah limbah pembuangan dengan hati-hati dan membuang sampah pada tempatnya. Melakukan penangkapan ikan dengan penjadwalan, karena semakin banyak ikan akan membuat fitoplankton dapat terkontrol hal tersebut merupakan rantai makanan, dan pemberian pakan teratur dan intensif tidak kurang dan berlebih agar kualitas air tetap terjaga.

sumber:
Abidin, Z. 1990. Perairan berwarnaputih susu (komunikasi pribadi).
Adnan, Q. 1994. Tiga tahun kejadian Red Tide di Teluk Jakarta. Dalam: Setiapermana, D., Sulistijo, H.P. Hutagalung (eds.). Prosiding seminar pemantauan pencemaran laut 7--9 Februari 1994. 2(3):109--119 hlm.
Anderson, D,M., J,M, Burkholder., W,P, Cochlan., P,M, Gilbert., C,J, Gobler., C,A, Heil., R,M, Kudela., M,L, Parsons., J,E, Jack Rensel., D,W, Townsend., V,L, Trainer., G,A, Vargo.,. 2008. Harmful algall blooms and eutrophication: Examining linkages from selected coastal region of the United Stated, Harmful Algae
Asriyana dan Yuliana. (2012). Produktivitas Perairan. Jakarta: Bumi Aksara.
Aunurohim. Saptarini, Dian. Yanthi, Devie. 2008. Fitoplankton Penyebab Harmful Algal Bloom (HAB) di Perairan Sidoarjo. Institut Teknologi Sepuluh Nopember-Surabaya.
Effendi, H. 2003. Telaah uji kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Penerbit Kanisisus, Yogyakarta: 258 hlm.
GEOHAB. 2011. Global ecology and oceanography of harmful Algal blooms science plan. SCOR and IOC, Paris: Vol 84.
Hallegraeff, G.M. 1991. Aquaculturists guide to harmful Australian microalgae. Fishing Industry Traning Board of Tasmania, Tasmania: 111 hlm.
MacKenzie, A.L., Beuzenberg, V., Holland, P.T., McNabb, P, Suzuki, T., & Selwood, A.(2005). Pectenotoxin and okadaic acid-based toxin profiles in Dinophysis acuta and Dinophysis acuminata from New Zealand. Harmful Algae, 4(3), 75-85.
Mulyani, R., Widiarti, & Wardhana W. (2012). Sebaran Spasial Spesies Penyebab Harmful Algal Bloom (HAB) di Lokasi Budidaya Kerang HIjau (Perna viridis) Kamal Muara, Jakarta Utara pada
PASARIBU, A.P.H., 2004. Siaran Pel's: "Red Tide" Sebabkan Ribuan Ikan Mati di Teluk Jakarta, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, http://www.dkp.go.id. Akses tanggal 6 Mei 2008.
Praseno, D.P. & Sugestiningsih. 2000. Retaid di Perairan Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarla.
Rabalais, N.N., Turner, E.R., Diaz, R.J., & Justic, D. (2009). Global change and eutrophication of coastal waters. Journal Marine Sciene, 66(7), 1528-1537.
Risamasu, Fonny J.L, dan H. B. Prayitno. 2011. Kajian Zat Hara Fosfat, Nitrit, Nitrat dan Silikat di Perairan Kepulauan Matasiri, Kalimantan Selatan. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. 16 (3): 135- 142.
Sekilas tentang Red tide, Bali Pos. http://www.balipost.com/balipostcetak/ 2007/2/5/l2.htm, Diakses pada tanggal 20 Juni 2020.

Penulis: Fathimah Azzahranoorhadi
Tim editor: Humas KSEP


Post a Comment

Previous Post Next Post