Isu Ancaman Air Bersih di Indonesia Tahun 2025



Isu Ancaman Air Bersih di Indonesia Tahun 2025



Air merupakan segala sumber kehidupan yang vital bagi linimasa kehidupan, segala aktivitas mahluk hidup yang ada di bumi membutuhkan air untuk bertahan hidup (viable). Air yang berada di Indonesia merupakan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, karena dapat ditemukan hampir di setiap tempat permukaan bumi. Ia merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan dibutuhkan setiap mahluk hidup. Bagi manusia, kebutuhan akan air adalah mutlak karena hampir semua aktivitas manusia memerlukan air.
Indonesia sebagai negara berpulau yang wilayahnya dihubungkan oleh perairan seharusnya menjadi negeri air yang berlimpah. Namun pada kenyataannya yang diungkapkan oleh undang-undang, tenaga ahli, dan dalam APBN maupun aktivis perairan di Indonesia, dengan sedihnya melihat ketidak mampuan Indonesia menjadi negara yang merdeka dalam SDA Perairan. Kondisi umum SDA di Indonesia berdasarkan hasil riset Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum tahun 2009 disebutkan Indonesia masih memiliki cadangan air yang cukup besar yaitu sebanyak 2.530 km3 atau menduduki peringkat kelima di dunia. Meski begitu, pada kenyataannya sebaran sumber daya air di Indonesia tidak merata. Di wilayah barat cukup besar namun di wilayah timur dan selatan kurang sehingga ancaman krisis air di sejumlah wilayah di Indonesia kerap terjadi dan dikhawatirkan akan semakin meluas. Hal ini diperparah dengan bertambahnya jumlah penduduk yang tidak merata, seperti di Pulau Jawa yang hanya tujuh persen dari luas lahan di Indonesia, sekitar 65 persen penduduk Indonesia tinggal di pulau ini dan potensi airnya hanya 4,5 persen dari potensi air di Indonesia (Qodriyatun, 2015).
Forum Air Dunia II (World Water Forum) di Den Haag, Belanda pada Maret 2000 sudah memprediksi Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air pada tahun 2025. Penyebabnya adalah kelemahan dalam pengelolaan air. Salah satu di antaranya pemakaian air yang tidak efisien. Laju kebutuhan akan sumber daya air dan potensi ketersediaannya sangat pincang dan semakin menekan kemampuan alam dalam menyuplai air (Qodriyatun, 2015). Semakin diperparah lagi dengan keadaan krisis air di dunia, hanya 1% jumlah air di dunia yang dapat dikonsumsi. Dari 1% air bersih yang tersedia tersebut, tidak semuanya dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. Data WHO tahun 2015 menyatakan bahwa 663 juta penduduk masih kesulitan dalam mengakses air bersih (Rochmi, 2016). Berkaitan dengan krisis air ini, diramalkan pada tahun 2025 nanti hampir dua pertiga penduduk dunia akan tinggal di daerah-daerah yang mengalami kekurangan air (Unesco, 2017). Ramalan itu dilansir World Water Assesment Programme (WWAP), bentukan United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). Terkait Indonesia, pada tahun 2012 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat Indonesia menduduki peringkat terburuk dalam pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi se-Asia Tenggara (Rochmi, 2016). Bahkan Direktur Pemukiman dan Perumahan Kementerian PPN (Bappenas) memperkirakan bahwa Indonesia juga akan mengalami krisis air. Hal ini karena melihat ketersediaan air bersih melalui jumlah sungai yang mengalirkan air bersih terbatas, sedangkan cadangan air tanah (green water) di Indonesia hanya tersisa di dua tempat yakni Papua dan Kalimantan. Indonesia juga diprediksi bahwa akan ada 321 juta penduduk yang kesulitan mendapatkan air bersih. Sebab permintaan air bersih naik sebesar 1,33 kali, berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang kekurangan air (Rochmi, 2016).
A.     Air Bersih di Indonesia
Dalam kondisi alami, sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga hanya sebagian kecil yang mengalir langsung ke dalam sungai. Semakin banyaknya pendirian bangunan, berdampak pada berkurangnya jumlah air yang mengalir melalui bawah tanah. Kondisi ini diperburuk oleh pengambilan air melalui sumur-sumur yang lebih dalam karena persaingan untuk mendapatkan sumber air (Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1999). Banyak faktor yang mempengaruhi ketersediaan daya air. Penyebab permasalahannya adalah terkait penyimpanan dan distribusinya ke daerah-daerah kota atau pinggiran kota. Menurut UNESCO (1978) dalam Engineer Weekly (2016), volume total air dunia sebesar ± 1,8 milyar kilometer kubik, dan sekitar 11 juta meter kubik air tawar berada di permukaan dan dalam tanah. Diketahui pula bahwa jumlah air tawar kira-kira hanya 2,6% air di bumi dan hampir semuanya tertahan sebagai salju, glasier, dan air tanah. Hanya 0,007% berada di danau, 0,005% di dalam tanah yang lembab, dan 0,0001% di dalam sungai (Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1999). Pada tahun 2000, data dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melaporkan bahwa ketersediaan air permukaan hanya cukup untuk memenuhi sekitar 23% kebutuhan penduduk. 
Terkait air bersih, saat ini dilaporkan bahwa jumlah air bersih di dunia hanya 1% yang dapat dikonsumsi dan tidak semuanya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Organisasi kesehatan dunia menemukan bahwa di tahun 2015, terdapat 663 juta penduduk masih kesulitan dalam mengakses air bersih (Rochmi, 2016). Bahkan diramalkan pada tahun 2025 nanti hampir dua pertiga penduduk dunia akan tinggal di daerah-daerah yang mengalami kekurangan air (Unesco, 2017). Kondisi inilah mengapa disebut bahwa dunia saat ini mengalami krisis air bersih, termasuk Indonesia. Bahkan kondisi defisit air bersih sudah dilaporkan di Jawa dan Bali sejak tahun 1995 (Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1999). Status krisis air bersih ini didasarkan pada kajian bahwa jumlah sungai yang mengalirkan air bersih di Indonesia terbatas, sedangkan cadangan air tanah (green water) di Indonesia hanya tersisa di dua tempat yakni Papua dan Kalimantan. Selain itu, Indonesia juga dikategorikan memiliki pelayanan ketersediaan air bersih dan layak konsumsi yang buruk di Asia-Tenggara, bahkan diprediksikan akan ada 321 juta penduduk yang kesulitan mendapatkan air bersih karena adanya peningkatan permintaan air bersih sebesar 1,33 kali yang berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang kekurangan air (Rochmi, 2016). Environmental performance index juga menunjukkan bahwa di tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-128 terkait sumber air dan peringkat ke 104 terkait air bersih dan sanitasi se-Asia Tenggara (Engineer Weekly, 2016). 
Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik tersebut, dapat diketahui bahwa persentase rumah tangga dengan sumber air bersih di Indonesia pada tahun 2018 yaitu ±74% dengan capaian tertinggi di daerah Bali (90,90%) dan Jakarta 89,59% sedangkan capaian terendah di daerah Bengkulu (49,37%) dan Lampung (56,78%). Capaian air bersih di tahun 2018 ini mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2012 (41%). Semenjak adanya Millenium Development Goalspada tahun 2000, akses air minum yang sehat menjadi salah satu tujuannya. Berbagai upaya dilakukan untuk mencapai target yang diharapkan. Capaian ini menjadi salah satu bukti keberhasilan dari berbagai strategi yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini, baik dalam penyediaan air bersih maupun pemberdayaan masyarakat melalui perubahan perilaku higienis (Badan Pusat Statistik, 2015). Namun jika dibandingkan dengan capaian di beberapa negara tetangga, capaian akses air bersih di Indonesia ini masih tergolong rendah. Menurut the Economist World Figures in Pocket 2016, negara yang sudah sukses dengan akses air bersih yaitu Singapura (100%), Korea (100%), Malaysia (99,6%), Brazil (97,5%), Thailand (95,8%), Vietnam (95%), India (92,6%), China (91,9%), dan Philipina (91,8%) (Engineer Weekly, 2016). Untuk itu, masih dibutuhkan upaya keras dari semua pihak terutama dinas-dinas terkait untuk meningkatkan persentase akses terhadap air bersih dari 73% menuju 100% yang dapat menjangkau penduduk di tahun 2019 sesuai dengan RPJMN 2015-2016.
B.     Kelangkaan Air
Menurut FAO Water, kelangkaan air merupakan suatu kondisi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan permintaan, degradasi kualitas air tanah dan air di permukaan, kompetisi, konflik regional dan internasional, dan semua yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya kelangkaan air. Kelangkaan air yang saat ini sedang dikhawatirkan oleh banyak orang memang terjadi karena ketidakseimbangan antara ketersediaan dan permintaan masyarakat dunia. Pada dasarnya, air di muka bumi ini hanya 2,5% saja yang merupakan air bersih (fresh water). Air jenis inilah yang seharusnya digunakan untuk melakukan semua aktivitas manusia, mulai dari mandi, memasak, mencuci, dan lainnya. Namun sayangnya, 2,5% air ini tidak tersedia begitu saja di muka bumi ini. Sekitar 68,7% fresh water masih berbentuk gletser dan es sehingga perlu makan waktu yang lama untuk menunggunya mencair. Kemudian, 30,1% ada di bawah tanah. Sedangkan sisanya, 1,2% inilah yang tersedia di permukaan. Kemudian, sisa air yang hanya 1,2% ini juga tidak bisa begitu saja dikonsumsi. Ada sekitar 69,0% yang masih berbentuk es, 20,9% ada di danau, dan 0,49% ada di sungai (Martha, 2017). Biasanya, air di sungai inilah yang dikonsumsi oleh manusia. Persebaran air bersih yang ada di bumi berada pada (Gambar 1).


Gambar 1. Distribusi air yang ada di bumi

Air yang sulit didapatkan ini akan semakin berkurang dan hal ini lah yang menyebabkan terjadinya kelangkaan air. Menurut WWF, setidaknya ada empat faktor utama penyebab terjadinya kelangkaan air, antara lain sebagai berikut:
1.      Perubahan Iklim
Dari hari ke hari, iklim di bumi terus mengalami perubahan dan terasa semakin cepat dari sebelumnya. Perubahan iklim merupakan gejala naiknya suhu di permukaan bumi sehingga dapat memicu terjadinya pemanasan global. Kenaikan suhu ini dipicu oleh semakin tingginya kadar gas rumah kaca di atmosfer dan salah satu penyebab utama naiknya kadar gas rumah kaca adalah aktivitas manusia. Perubahan iklim yang semakin tidak wajar inilah penyebab krisis air di bumi. Adanya perubahan iklim membuat kekeringan lebih sering terjadi dan ditemukan di banyak wilayah. Kekeringan yang berkepanjangan akhirnya mengakibatkan pergantian musim yang tidak stabil. Di sisi lain akan ada daerah yang terusmenerus mengalami banjir. Selain itu, gletser dan salju pun akan menghilang sehingga persediaan air untuk pertanian, pembangkit energi, ekosistem, dan lainnya akan terancam.
2.      Polusi
Polusi air bisa terjadi karena banyak faktor, tetapi sebagian besar dipengaruhi disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab. Polusi air bisa disebabkan oleh pembuangan limbah industri ke perairan, pembuangan limbah rumah tangga, rumah sakit, peternakan, atau penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan. Polutan juga bisa berupa bakteri yang berasal dari kotoran manusia. Aktivitas-aktivitas tersebut membuat air menjadi kotor, tidak layak untuk dikonsumsi ataupun digunakan oleh manusia.
3.      Agrikultur
Bagi sebagian negara, agrikultur memegang peranan yang sangat penting. Produk-produk agrikultur telah menjadi basis perekonomian utama bagi negara-negara seperti Indonesia, India, dan lainnya. Namun ternyata sektor ini juga menjadi salah satu faktor penyebab kelangkaan air di dunia. Mengapa? WWF menjelaskan bahwa hampir 70% air di muka bumi ini digunakan dalam sektor pertanian. Namun sekitar 60% dari air tersebut terbuang percuma karena sistem irigasi yang bocor, tidak efektif dan efisien, serta budidaya tanaman yang terlalu banyak membutuhkan air. Akibatnya sungai, danau, dan air bawah tanah mulai mengering. Kondisi ini sedang terjadi di India, Cina, Australia, Spanyol, dan Amerika Serikat. Kelima negara ini telah mencapai batas maksimal penggunaan sumber daya air mereka. Selain itu, penggunaan pupuk dan pestisida tanaman pun ikut mempengaruhi polusi air tawar.
4.      Pertumbuhan Penduduk
Dalam 50 tahun terakhir ini, populasi manusia telah bertambah dua kali lipat. Laju pertambahan populasi yang tidak berbanding lurus dengan ketersediaan air bersih ini menyebabkan air semakin sulit ditemukan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh WWF, 41% populasi di dunia berada di wilayah yang mengalami water stress. Permasalahan ini pun menjadi semakin kompleks karena kebutuhan penduduk terhadap air tidak bisa disubstitusi dengan sumber daya lainnya. Maka dari itu, banyak ahli yang memprediksi bahwa pada tahun 2050, satu dari empat orang akan mengalami kekurangan air bersih


Daftar Pustaka

BPS. 2019. Persentase Rumah Tangga menurut Provinsi dan Sumber Air Minum Layak. https://www.bps.go.id/statictable/2009/04/06/1549/persentase-rumah-tangga-menurut-provinsi-dan-sumber-air-minum-layak-1993-2018.html. Diakses pada 09 Desember 2019.
Engineer Weekly. 2016. Mengelola air bersih. http://pii.or.id.Diakses pada 09 Desember 2019
Martha J. 2017. Isu kelangkaan air dan ancamannya terhadap keamanan global. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi. Vol VII. No 2. Hal 147-158.
Qodriyatun SN. 2015. Penyediaan air bersih di Indonesia peran pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI dan Azza Grafika.
Rochmi, MN. 2016. Akses air bersih masih jauh dari target. https://beritagar.id/artikel/editorial/hapuskan-perdapenyebab-ekonomi-biaya-tinggi. Diakses pada 09 Desember 2019.
Unesco. 2017. Global climate change. www.unesco.org. Diakses pada 09 Desember 2019.
Whitten T, Soeriaatmadja RE, dan Afiff SA. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Alih bahasa oleh Kartikasari SN, Utami TB, dan Widyantoro A. Jakarta: Prenhallindo.

Penulis: Stefan Martinus
Tim Editor: Humas KSEP

Post a Comment

Previous Post Next Post